PENDAHULUAN

 Korupsi dan pemberantasan tindak pidana korupsi merupakan persoalan yang dari waktu kewaktu selalu menjadi bahan pembicaraan dan diskusi baik itu yang dilakukan secara formal maupun informal oleh berbagai kalangan masyarakat, upaya pemberantasan korupsi terus dilakukan, diantaranya adalah dengan penyempurnaan dari sisi peraturan perundang-undangan, termasuk pembenahan pada lembaga-lembaga penegak hukum, Kepolisian, Kejaksaan, Komisi Pemberantasan Korupsi dan Pengadilan, pemberantasan tidak hanya ditekankan kepada upaya secara represif semata akan tetapi juga upaya secara preventi.

Berdasarkan perspektif hukum, korupsi secara gamblang telah dijelaskan dalam 13 buah Pasal dalam Undang Undang No. 31 Tahun 1999 yang telah diubah dengan Undang Undang No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Berdasarkan pasal-pasal tersebut, korupsi dirumuskan ke dalam 30 bentuk/jenis tindak pidana korupsi. Pasal-pasal tersebut menerangkan secara terperinci mengenai perbuatan yang bisa dikenakan sanksi pidana karena korupsi. Ketigapuluh bentuk/jenis tindak pidana korupsi tersebut pada dasarnya dapat dikelompokkan sebagai berikut:

  1. Kerugian keuangan negara
  2. Suap-menyuap
  3. Penggelapan dalam jabatan
  4. Pemerasan
  5. Perbuatan curang
  6. Benturan kepentingan dalam pengadaan
  7. Gratifikasi[1]

Selanjutnya penjelasan umum Undang Undang Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, menguraikan bahwa di tengah upaya pembangunan nasional diberbagai bidang, aspirasi masyarakat untuk memberantas korupsi dan bentuk penyimpangan lainnya semakin maningkat, karena dalam kenyataan adanya perbuatan korupsi telah menimbulkan kerugian negara yang sangat besar yang pada gilirannya dapat berdampak pada timbulnya krisis diberbagai bidang. Untuk itu, upaya pencegahan dan pemberantasan korupsi perlu semakin ditingkatkan dan diintensifkan dengan tetap menjunjung tinggi hak asasi manusia dan kepentingan masyarakat.

Peningkatan upaya pemberantasan tindak pidana korupsi tidak hanya penyempurnaan dalam tataran peraturan perudang undangan akan tetapi juga penyempurnaan terhadap lembaga penegakan hukum termasuk upaya peningkatan kualitas sumber daya manusia aparatur penegak hukum, akan tetapi upaya-upaya tersebut, realitasnya belum mendatangkan dampak yang signifikan, hal tersebut dapat dilihat dengan masih tinggi terjadinya tindak pidana korupsi, tindak pidana korupsi tidak lagi terjadi pada pusat kekuasaan atau lembaga-lembaga tinggi negara, akan tetapi tindak pidana korupsi sudah terjadi hingga ke desa-desa, beberapa tahun terakhir telah banyak Kepala Desa dan Perangkat Desa yang diminta pertangungjawabanya atas perbuatan korupsi dalam pengelolaan dana kas desa di desa, baik yang bersumber dari Dana Desa, Alokasi Dana Desa maupun yang bersumber dari dana bantuan Pemerintah Provinsi ataupun Pemerintah Kabupaten;

Fenomena peningkatan terjadinya tindak pidana korupsi ini sebagaimana terpahami secara langsung telah berdampak kerugian atas keuangan negara, berdasarkan data yang direlease oleh Indonesia Corruption Watch (ICW) melaporkan potensi kerugian keuangan negara akibat korupsi di Indonesia pada tahun 2021, ICW menilai kerugian negara sebesar Rp62.930.000.000.000,00 (enam puluh dua triliun sembilan ratus tiga puluh milyar rupiah) angka tersebut meningkat 10,9% dibandingkan dengan tahun sebelumnya. Angka tersebut juga merupakan yang terbesar dalam 5 tahun terakhir. Kerugian negara yang ditangani Kejaksaan sebesar Rp62.100.000.000.000,00, (enam puluh dua triliun seratus milyar rupiah) sementara yang ditangani Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) hanya Rp802.000.000.000,00 (delapan ratus dua milyar rupiah). Besarnya kerugian keuangan negara disumbang oleh beberapa perkara, di antaranya adalah korupsi Kondensat Migas PT Trans Pacific Petrochemical Indonesia senilai Rp36.000.000.000.000,00 (tiga puluh enam triliun rupiah), perkara korupsi Jiwasraya Rp16.000.000.000.000,00 (enam belas triliun rupiah), serta korupsi impor tekstil PT Fleming Indo Batam Rp1.600.000.000.000,00 (satu triliun enam ratus milyar rupiah)[2].

            Peningkatan jumlah kerugian negara yang diakibatkan, sebagaimana data yang direlease oleh ICW diatas, menjadikan sebuah keprihatinan, besarnya jumlah kerugian negara yang diakibatkan oleh tindak pidana korupsi dimaksud, tentunya secara langsung berdampak kepada pertumbuhan ekonomi dan peningkatan kesejahteraan dan kemakmuran bagi rakyat Indonesia. Dikarenakan hal tersebut maka upaya pemberantasan tindak pidana korupsi secara simultan harus tetap dilakukan, upaya pemberatasan tindak pidana korupsi tersebut tidak cukup hanya pemberian atau penjatuhan saksi pidana penjara kepada setiap pelaku tindak pidana korupsi akan tetapi yang lebih penting adalah adanya upaya pengembalian atas kerugian keuangan negara yang ditimbulkan oleh tindak pidana korupsi tersebut, upaya pengembalian atas kerugian keuangan negara bertujuan untuk memulihkan atau recovery atas keuangan negara.

            Pemulihan atau recovery atas keuangan negara sekarang ini sudah merupakan fokus utama disamping pencegahan dan pemberantasan tindak pidana korupsi, yang kemudian dijembatani dengan dimuatnya ketentuan uang pengganti sebagaimana diatur dalam Pasal 18 Undang Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang perubahan atas Undang Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Akan tetapi kemudian melalui releasenya ICW menyampaikan bahwa vonis dari perkara tindak korupsi pada tahun 2021, dari kerugian negara yang mencapai Rp62.930.000.000.000,00 (enam puluh dua triliun sembilan ratus tiga puluh milyar rupiah) berdasarkan putusan pengadilan jumlah uang pengganti yang diputus hanya sebesar Rp1.400.000.000.000,00 (satu triliuan empat ratus milyar rupiah), artinya seakan akan recovery atas kerugian negara akibat tindak pidana korupsi mustahil dapat dilakukan.

            Berangkat dari uraian diatas, sehingga kemudian dipandang perlu untuk memahami secara mendalam tentang keuangan negara dan kerugian keuangan negara berdasarkan konsep pemberantasan tidak pidana korupsi dan secara spesifik recovery atau pemulihan keuangan negara dalam pemberantasan tindak pidana korupsi tersebut.

PEMBAHASAN

Keuangan Negara dan Kerugian Keuangan Negara dalam Konsep Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

             Pertama sekali berkaitan dengan pengertian keuangan negara, pengertian keuangan negara pada Undang Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana diubah dengan Undang Undang Nomor 20 Tahun 2001 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Undang Undang Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi) dalam penjelasan umum menguraikan pengertian keuangan negara adalah seluruh kekayaan negara dalam bentuk apapun yang dipisahkan atau yang tidak dipisahkan termasuk di dalamnya segala bagian kekayaan negara dan segala hak dan kewajiban yang timbul karena:

  1. Berada dalam penguasan, pengurusan dan pertanggungjawaban pejabat lembaga negara baik tingkat pusat maupun di daerah;
  2. Berada dalam penguasan, pengurusan dan pertanggungjawaban Badan Usaha Milik Negara/Badan Usaha Milik Daerah, Yayasan, badan hukum dan perusahaan yang menyertakan modal pihak ke tiga berdasarkan perjanjian dengan negara.

Selanjutnya, berdasarkan Pasal 1 angka 1 Undang Undang Nomor 17 Tahun 2003 Tentang Keuangan Negara (Undang Undang Tentang Kuangan Negara) mengatur mengenai pengertian keuangan negara adalah semua hak dan kewajiban negara yang dapat dinilai dengan uang, serta segala sesuatu baik berupa uang maupun berupa barang yang dapat dijadikan milik negara berhubung dengan pelaksanaan hak dan kewajiban tersebut. Ruang lingkup dari keuangan negara berdasarkan Pasal 2 Undang Undang Nomor 17 Tahun 2003 Tentang Keuangan Negara adalah:

  1. Hak negara untuk memungut pajak, mengeluarkan dan mengedarkan uang dan melakukan pinjaman.
  2. Kewajiban negara untuk menyelenggarakan tugas layanan umum pemerintahan negara dan membayar tagihan pihak ketiga.
  3. Penerimaan negara.
  4. Pengeluaran negara.
  5. Penerimaan daerah.
  6. Pengeluaran daerah.
  7. Kekayaan negara/kekayaan daerah yang dikelola sendiri atau oleh pihak lain berupa uang, surat berharga, piutang, barang serta hak-hak lain yang dapat dinilai dengan uang, termasuk kekayaan yang dipisahkan pada perusahaan negara/perusahaan daerah.
  8. Kekayaan pihak lain yang dikusai oleh pemerintah dalam penyelenggaraan tugas pemerintah dan/atau kepentingan umum.
  9. Kekayaan pihak lain yang diperoleh dengan menggunakan fasilitas yang diberikan pemerintah[3].

Mempedomani ketentuan Undang Undang Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dan Undang Undang Tentang Keuangan Negara tersebut diatas, maka keuangan negara dapat dilihat dalam artian luas dan dalam artian sempit, keuangan negara dalam artian luas meliputi hak dan kewajiban negara yang dapat dinilai dengan uang, termasuk uang dan barang milik negara yang tidak tercakup dalam anggaran negara baik Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) maupun Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD). Sedangkan keuangan negara dalam artian sempit adalah terbatas pada hak dan kewajiban negara yang dapat dinilai dengan uang, termasuk uang dan barang milik negara yang tercantum dalam anggaran negara baik Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) maupun Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD).

Berkenaan dengan kekayaan negara yang dipisahkan sebagaimana tertuang dalam penjelasan umum Undang Undang Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dan Pasal 2 huruf f Undang Undang Tentang Kuangan Negara, merupakan penyertaan modal negara yang berada dalam pengelolaan perusahaan negara, yang kemudian dalam rumusan ketentuan Pasal 1 angka 10 Undang Undang Nomor 19 Tahun 2003 Tentang Badan Usaha Milik Negara, mengatur bahwa kekayaan negara yang dipisahkan adalah kekayaan negara yang berasal dari Anggaran Pendapat dan Belanja Negara untuk dijadikan penyertaan modal negara pada Persero dan atau Perusahaan Umum serta Perseroan Terbatas lainnya. Kekayaan negara yang dipisahkan sebagai penyertaan modal negara pada Persero dan atau Perusahaan Umum serta Perseroan Terbatas berdasarkan atas Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 48/PUU-XI/2013 dan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 62/PUU-XI/2013, memberikan penegasan bahwa kekayaan negara yang dipisahkan sebagai penyertaan negara pada Persero Badan Usaha Milik Negara merupakan keuangan negara.

Kemudian menelisik ketentuan Pasal 1 angka 2 Undang Undang Nomor 6 Tahun 2014 Tentang Desa, memberikan pengertian bahwa pemerintahan desa adalah penyelenggaraan urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat dalam sistem pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia, Pasal 72 ayat 1 mengatur bahwa pendapatan desa bersumber dari pendapatan asli desa, alokasi APBN, bagi hasil pajak daerah dan restribus Kota/Kabupaten, alokasi dana desa, bantuan keuangan dari APBD Provinsi dan APBD Kabupaten/Kota, hibah dan lain-lainnnya, didasarkan hal tersebut, maka keuangan pemerintahan desa juga termasuk ke dalam ruang lingkup keuangan negara baik yang tercakup dalam anggaran desa baik Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa (APBDesa) maupun yang tidak tercakup dalam anggaran desa, berupa kekayaan desa yang dipisahkan pada Badan Usaha Milik Desa (BUMDesa).

Berdasarkan atas penjabaran diatas, maka pengertian dari keuangan negara tersebut adalah seluruh kekayaan negara dalam bentuk apapun yang dipisahkan atau yang tidak dipisahkan termasuk di dalamnya segala bagian kekayaan negara dan segala hak dan kewajiban yang timbul, berada dalam penguasan, pengurusan dan pertanggungjawaban pejabat lembaga negara baik tingkat pusat, daerah dan pemerintahan desa, termasuk yang berada dalam penguasan, pengurusan dan pertanggungjawaban Badan Usaha Milik Negara/Badan Usaha Milik Daerah/Badan Usaha Milik Desa, yayasan, badan hukum dan perusahaan yang menyertakan modal pihak ke tiga berdasarkan perjanjian dengan negara atau dengan daerah atau dengan desa.

Berikutnya mengenai kerugian negara dan kerugian keuangan negara, kerugian negara dengan kerugian keuangan negara mengandung makna yang berbeda, kerugian negara termasuk didalamnya kerugian keuangan negara dan kerugian atas perekonomian negara, artinya kerugian negara mengandung makna yang luas, sedangkan kerugian keuangan negara adalah kerugian yang menyangkut atas keuangan negara semata. Dalam Pasal 1 angka 22 Undang Undang Nomor 1 Tahun 2004 Tentang Perbendaharaan Negara memberikan defenisi bahwa pengertian kerugian negara/daerah adalah kekuarangn uang, surat berharga dan barang yang nyata dan pasti jumlahnya sebagai akibat perbuatan melawan hukum baik sengaja maupun lalai.  

Sedangkan mengenai defenisi dari kerugian keuangan negara berpedoman kepada ketentuan yang tertuang dalam Undang Undang Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, maka yang dimaksud dengan kerugian keuangan Negara adalah berkurangnya kekayaan Negara yang disebabkan suatu tindakan melawan hukum, penyalahgunaan wewenang/kesempatan atau sarana yang ada pada seseorang karena jabatan atau kedudukan, kelalaian seseorang dan atau disebabkan oleh keadaan di luar kemampuan manusia, kerugian keuangan negara tersebut dapat berbentuk :

  1. Pengeluaran suatu sumber/kekayaan negara/daerah (uang atau barang) yang seharusnya tidak dikeluarkan;
  2. Pengeluaran suatu sumber/kekayaan negara/daerah lebih besar dari yang seharusnya;
  3. Hilangnya sumber/kekayaan negara/daerah yang seharusnya diterima (termasuk penerimaan dengan uang palsu, barang fiktif);
  4. Penerimaan sumber/kekayaan negara/daerah lebih kecil/rendah dari yang seharusnya diterima (termasuk penerimaan barang rusak, kualitas tidak sesuai);
  5. Timbulnya suatu kewajiban negara/daerah yang seharusya tidak ada;
  6. Timbulnya suatu kewajiban negara/daerah yang lebih besar dari yang seharusnya;
  7. Hilangnya suatu hak negara/daerah yang seharusnya dimiliki/diterima menurut aturan yang berlaku;
  8. Hak negara/daerah yang diterima lebih kecil dari yang seharusnya diterima.  

Terjadinya kerugian keuangan negara sebagaimana pendapat Djoko Sumaryanto, membagi dalam beberapa kualifikasi yaitu:

  1. Terdapat pengadaan barang-barang dengan harga yang tidak wajar karena jauh dari harga pasar, sehingga merugikan keuangan negara sebesar selisih harga pemebelian dengan harga pasar atau harga yang sewajarnya.
  2. Harga pengadaan barang dan jasa wajar. Wajar tetapi tidak sesuai dengan spesifikasi barang dan jasa yang dipersyaratkan. Kalau harga barang dan jasa murah, tetapi kualitas barang dan jasa kurang baik, maka dapat dikatakan merugikan keuangan negara.
  3. Terdapat transaksi yang memperbesar utang negara secara tidak wajar, sehingga dapat dikatakan merugikan keuangan negara karena kewajiban negara untuk membayar utang lebih besar.
  4. Piutang negara berkurang secara tidak wajar dapat juga dikatakan merugikan keuangan negara.
  5. Kerugian negari dapat terjadi apabila aset negara berkurang karena di jual dengan harga yang murah atau dihibahkan kepada pihak lain atau ditukar dengan pihak swasta atau perorangan (ruislag).
  6. Untuk merugikan negara adalah dengan memperbesar biaya instansi atau perusahaan. Hal ini dapat terjadi baik karena pemborosan maupun dengan cara lain, seperti membuat biaya fiktif. Dengan biaya yang diperbesar, keuntungan perusahaan yang menjadi objek pajak semakin kecil.
  7. Hasil perjualan suatu perusahaan dilaporkan lebih kecil dari penjualan sebenarnya, sehingga mengurangi penerimaan resmi perusahaan tersebut.

Selanjutnya, Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) menggunakan empat kriteria adanya kerugian negara, ialah:

  • Berkurangnya kekayaan negara dan atau bertambahnya kewajiban negara yang menyimpang dari ketentuan peraturan perundang undangan yang berlaku. Sedangkan kekayaan negara merupakan konsekwensi dari adanya penerimaan pendapatan yang menguntungkan dan pengeluaran yang menjadi beban keuangan negara (pendapatan dikurangi pengeluaran negara).
  • Tidak diterimanya sebahagian atau seluruh pendapatan yang menguntungkan keuangan negara, yang menyimpang dari ketentuan peraturan perundang undangan yang berlaku.
  • Sebagian atau seluruhnya yang menjadi beban keuangan negara lebih besar atau seharusnya tidak menjadi beban keuangan negara, yang menyimpang dari ketentuan peraturan perundang undangan yang berlaku.
  • Setiap pertambahan kewajiban negara yang diakibatkan oleh adanya komitmen yang menyimpang dari ketentuan peraturan perundang undangan yang berlaku.

Kerugian keuangan negara haruslah merupakan kerugian yang diakibatkan langsung oleh wujud perbuatan memperkaya diri yang mengandung sifat melawan hukum (atau perbuatan menyalahgunakan kewenangan vide Pasal 3), yang kriteria dan bentuknya bermacam-macam, antara lain:

  • Bertambahnya kewajiban negara yang membebani keuangan negara akibat dari perbuatan menyimpang dari peraturan perundang undangan atau bersifat melawan hukum (wederrchtekijk).
  • Tidak diterimanya sebahagian atau seluruhnya pendapatan yang semestinya diterima negara, yang disebabkan oleh perbuatan yang menyimpang dari peraturan perundang undangan atau mengandung sifat melawan hukum.
  • Dikeluarkannya atau dibayarkannya sejumlah uang negara yang mengakibatkan hilangnya/lenyapnya uang negara itu – disebabkan oleh perbuatan yang melanggar ketentuan peraturan perundang undangan atau bersifat melawan hukum.
  • Dikeluarkannya atau digunakannya sejumlah uang negara yang tidak dapat dipertanggungjawabkan secara hukum.
  • Sebagian atau seluruhnya pengeluaran yang menjadi beban keuangan negara lebih besar dari seharusnya yang disebabkan oleh perbuatan yang melanggar peraturan perundang undangan yang bersifat melawan hukum.
  • Pengeluaran uang negara yang seharusnya tidak menjadi beban keuangan negara oleh sebab perbuatan yang melanggar peraturan perudang undangan atau bersifat melawan hukum.
  • Timbulnya kewajiban negara yang membebani keuangan negara yang diakibatkan oleh adanya perbuatan atau komitmen yang melanggar peraturan perundang undangan atau bersifat melawan hukum.
  • Digunakannya sejumlah uang negara untuk hal-hal/tujuan diluar peruntukan uang tersebut (bersifat melawan hukum) yang tidak mengandung manfaat sema sekali bagi institusi dan atau bagi kepentingan umum, atau kalaupun mengandung manfaat namun nilai kemanfaatannya dari penggunaannya itu lebih rendah dari nilai kemanfaatan semula yang seharusnya (sebenarnya) bagi peruntukan uang tersebut.
  • Digunakannya sejumlah uang negara untuk hal-hal/tujuan diluar peruntukan bagi uang tersebut (bersifat melawan hukum) yang mengakibatkan tidak terbayarnya atau tidak terlaksananya/terabaikannya kewajiban hukum semula yang membebani keuangan negara tersebut.
  • Digunakannya sejumlah uang negara untuk hal-hal/tujuan diluar peruntukan bagi uang tersebut (bersifat melawan hukum) yang tidak mengandung kemanfaatan atau kegunaan sebagaimana yang dimaksudkan semula untuk uang itu menyebabkan tujuan semula untuk uang itu tidak tercapai.
  • Dikeluarkan/digunakannya uang negara untuk tujuan tertentu (misalnya pembayaran harga barang atau jasa) yang nilai kemanfatannya atau hasilnya (goal) berada dibawah atau lebih rendah dari nilai hasil atau kemanfaatan yang seharusnya dari penggunaan uang negara tersebut oleh perbuatan yang mengadung sifat melawan hukum (wederrechtelijk)[4].

Kerugian keuangan negara merupakan seluruh pengeluaran atau penggunaan yang menjadi beban keuangan negara dimana pengeluaran atau penggunaan atas uang negara tersebut didasarkan atas perbuatan melawan hukum dan berkurangnya pendapatan atau pemasukan terhadap keuangan negara, dimana hal tersebut terjadinya karena perbuatan melawan hukum, semua bentuk kerugian keuangan negara tersebut haruslah disebabkan oleh perbuatan yang mengadung sifat melawan hukum pidana (wederrechtelijk), bukan disebabkan oleh perbuatan yang mengandung sifat melawan hukum perdata dan hukum tata usaha negara.

 Recovery Kerugian Keuangan Negara Dalam Konsep Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

           Perumusan ancaman pidana sebagaimana diatur dalam Buku I Kitab Undang Undang Hukum Pidana (KUHP) mengacu kepada norma pemidanaan berdasarkan rumusan Pasal 10 KUHP, adalah :

  1. Pidana pokok:
  2. pidana mati;
  3. pidana penjara;
  4. pidana kurungan;
  5. pidana denda;
  6. pidana tutupan.
  7. Pidana tambahan:
  8. pencabutan hak-hak tertentu;
  9. perampasan barang-barang tertentu;
  10. pengumuman putusan hakim

            Sedangkan dalam Undang Undang Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi memberikan penambahan terkait pidana tambahan sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal 18 Undang Undang Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, yaitu:

Ayat (1) Selain pidana tambahan sebagaimana dimaksud dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, sebagai pidana tambahan adalah :

  1. perampasan barang bergerak yang berwujud atau yang tidak berwujud atau barang tidak bergerak yang digunakan untuk atau yang diperoleh dari tindak pidana korupsi, termasuk perusahaan milik terpidana dimana tindak pidana korupsi dilakukan, begitu pula dari barang yang menggantikan barang-barang tersebut;
  2. pembayaran uang pengganti yang jumlahnya sebayak-banyaknya sama dengan harta benda yag diperoleh dari tindak pidana korupsi;
  3. penutupan seluruh atau sebagian perusahaan untuk waktu paling lama 1 (satu) tahun;
  4. pencabutan seluruh atau sebagian hak-hak tertentu atau penghapusan seluruh atau sebagian keuntungan tertentu, yang telah atau dapat diberikan oleh Pemerintah kepada terpidana.

Ayat (2) Jika terpidana tidak membayar uang pengganti sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf b paling lama dalam waktu 1 (satu) bulan sesudah putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, maka harta bendanya dapat disita oleh jaksa dan dilelang untuk menutupi uang pengganti tersebut.

Ayat (3) Dalam hal terpidana tidak mempunyai harta benda yang mencukupi untuk membayar uang pengganti sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf b, maka dipidana dengan pidana penjara yang lamanya tidak melebihi ancaman maksimum dari pidana pokoknya sesuai dengan ketentuan dalam Undang-undang ini dan lamanya pidana tersebut sudah ditentukan dalam putusan pengadilan.                       

            Pengaturan norma tentang pidana tembahan berupa pembayaran uang pengganti sebagaimana Pasal 18 Undang Undang Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi tersebut, merupakan pergeseran arah politik hukum pemberantasan tindak pidana korupsi, pemberantasan tindak pidana korupsi tidak lagi berorientasi kepada penjatuhan sanksi pidana penjara semata kepada pelaku tindak pidana korupsi, akan tetapi telah mengalami pergeseran ke arah recovery/pemulihan keuangan negara sebagai tujuan utama, disamping penjatuhan sanksi pidana penjara terhadap pelaku tindak pidana korupsi.

Norma pemidanaan pembayaran uang pengganti sebagai sarana untuk mencapai tujuan pengembalikan kerugian keuangan negara yang diakibatkan oleh tindak pidana korupsi, rumusan Pasal 18, mengatur bahwa pidana tambahan berupa pembayaran uang pengganti tersebut, ditentukan bahwa jumlahnya sebanyak-banyaknya sama dengan harta benda yang diperoleh dari tindak pidana korupsi. Pembebanan pidana tambahan berupa pembayaran uang pengganti, berdasarkan ketentuan Pasal 17 Undang Undang Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi tidak hanya dapat diterapkan terhadap tindak pidana korupsi Pasal 2 dan Pasal 3 Undang Undang Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi akan tetapi juga dapat diterapkan terhadap tindak pidana korupsi yang diatur dalam Pasal 5 sampai dengan Pasal 14.

            Pembebanan pidana pembayaran uang pengganti harus memiliki reasoning yang rasional yang sejalan dengan tujuan penegakan hukum, adapun alasan alasan yang relevan adalah:

  1. Penjatuhan sanksi tambahan berupa pidana pembayaran uang pengganti relevan untuk diterapkan pada tindak pidana korupsi di luar Pasal 2 dan Pasal 3 yang mana sumber perolehannya bersumberkan dari atau termasuk dalam ruang lingkup keuangan negara atau perekonomian negara. Misalnya dalam hal pemberian atau penerimaan suap dimana sumber perolehan suap tersebut bersumberkan atau termasuk dalam ruang lingkup keuangan negara atau perekonomian negara.
  2. Penjatuhan sanksi tambahan berupa pidana pembayaran uang pengganti relevan untuk diterapkan pada tindak pidana korupsi diuar Pasal 2 dan Pasal 3 yang mana perbuatan itu telah mengakibatkan atau menimbulkan dampak kerugian yang termasuk dalam ruang lingkup keuangan negara atau perekonomian negara. Akibat yang ditimbulkan ini selalu sebanding dengan jumlah sumber uangnya yang bersumber dari keuangan negara atau perekonomian negara tersebut, karena bisa jadi perbuatan kerupsi berdampak pada kerusakan atau hilangnya keuangan negara atau perekonomian negara yang seharusnya diterima oleh negara. Misalnya perbuatan korupsi Pasal 9.
  3. Penjatuhan sanksi tambahan berupa pidana pembayaran uang pengganti relevan untuk diterapkan pada tindak pidana korupsi diuar Pasal 2 dan Pasal 3 yang mana hasil dari korupsi sudah tidak bisa diselamatkan lagi termasuk dengan pendekatan instrument tindak pidana pencucian uang. Sebagai contoh adalah korupsi penyuapan yang hasilnya sudah dimanfaatkan dan secara teknis sudah tidak dapat ditelusuri maupun sudah tidak dapat diselamatkan kembali.
  4. Penjatuhan sanksi tambahan berupa pidana pembayaran uang pengganti relevan untuk diterapkan pada tindak pidana korupsi diluar Pasal 2 dan Pasal 3 yang mana jumlah yang diterima atau digunakan dalam kasus korupsi tersebut melampaui jumlah sanksi pidana denda yang tersedia dalam Undang Undang. Misalnya korupsi penyuapan yang mana besarnya suap itu melampaui jumlah ancaman sanksi denda yang tercantum dalam Pasa 5[5].

Ketentuan Pasal 17 dan Pasal 18 Undang Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, pembebanan pembayaran uang pengganti tidak hanya khusus untuk Pasal 2 dan Pasal 3 dimana dalam kedua pasal tersebut memuat rumusan unsur tentang “memperkaya atau menguntungkan” dan “menimbulkan kerugian keuangan negara atau perekonomian negara”, akan tetapi juga dapat dibebankan terhadap tindak pidana korupsi Pasal 5 sampai dengan Pasal 14 yang dalam rumusan unsur pasal tersebut tidak memuat unsur “memperkaya atau menguntungkan” dan “menimbulkan kerugian keuangan negara atau perekonomian negara”, sepanjang tindak pidana korupsi tersebut dilakukan dalam ruang lingkup keuangan negara atau perekonomian negara dan mengakibatkan terjadinya kerugian keuangan negara atau perekonomian negara atau menggunakan keuangan negara atau hilangnya perolehan serta pendapatan negara, maka pembayaran uang pengganti dapat dibebankan.

Pengaturan saksi pidana tambahan berupa pidana pembayaran uang pengganti oleh Mahkamah Agung RI kemudian menerbitkan Peraturan Mahkamah Agung Nomor 5 Tahun 2014 Tentang Pidana Tambahan Uang Pengganti Dalam Tindak Pidana Korupsi, konsideran bagian menimbang, huruf d dan e menerangkan bahwa Peraturan Mahkamah Agung ini merupakan pedoman dalam penentuan besaran penjara pengganti dari uang pengganti, untuk mengantisipasi terjadinya disparitas penentukan maksimun penjara pengganti dari uang pengganti, akan tetapi kemudian dari aturan yang tertuang pada bagian batang tubuh Peraturan Mahkamah Agung tersebut hanya ditemukan 2 (dua) pasal yang mengatur tentang penjara pengganti yaitu pada Pasal 8 dan Pasal 10, sedangkan selebihnya adalah mengatur tentang pembayaran uang pengganti itu sendiri, ketentuan Pasal 8 hanya mengatur batas maksimal dalam penjatuhan pidana penjara pengganti yaitu tidak boleh melebihi pidana ancaman pidana pokok yang terbukti.

Peraturan Mahkamah Agung RI Nomor 5 Tahun 2014 Tentang Pidana Tambahan Uang Pengganti Dalam Tindak Pidana Korupsi, Pasal 1 mengatur: Dalam hal menentukan jumlah pembayaran uang pengganti dalam tindak pidana korupsi, adalah sebanyak-banyaknya sama dengan harta benda yang diperoleh dari tindak pidana korupsi dan bukan semata-mata sejumlah kerugian keuangan negara yang diakibatkan dan Pasal 3 mengatur: pidana tambahan uang pengganti dapat dijatuhkan terhadap seluruh tindak pidana korupsi yang diatur di dalam Bab II Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, dengan tetap memperhatikan rumusan Pasal 1 di atas, pengaturan ini mempertegas kembali ketentuan Pasal 17 dan Pasal 18 Undang Undang Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

Peraturan Mahkamah Agung RI No 5 tahun 2014 tersebut tidak dapat dimaknai telah mempersempit ketentuan uang pengganti sebagaimana diatur dalam Pasal 18 Undang Undang Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, penentukan jumlah yang dibayarkan dalam pembebanan pidana tambahan berupa uang pengganti tidak dapat dipersamakan dengan jumlah kerugian keuangan negara atau perekonomian negara, pembebanan pembayaran uang pengganti baik berdasarkan ketentuan Pasal 18 Undang Undang Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi maupun ketentuan Pasal 1 Peraturan Mahkamah Agung No 5 tahun 2014, sama sama memberikan penekanan kepada jumlah harta benda yang diperoleh oleh pelaku (terdakwa) tindak pidana korupsi atas tindak pidana korupsi yang dilakukannya.

Pengaturan tentang pidana tambahan berupa pembebanan pembayaran uang pengganti ini merupakan ketentuan yang mengakomodir upaya recovery atau pemulihan atas terjadinya kerugian keuangan negara yang diakibatkan oleh tindak pidana korupsi, akan tertapi harus dipahami bahwa jumlah pembebanan pembayaran uang pengganti kepada pelaku tindak pidana korupsi tersebut tidak dapat dibebankan sejumlah kerugian keuangan negara yang ditimbulkan dari tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh pelaku, karena dimungkinkan bahwa perolehan harta benda oleh pelaku tindak pidana korupsi tidak sama dengan jumlah kerugian keuangan negara yang disebabkan oleh perbuatan tindak pidana korupsi yang dilakukannya, misalnya jumlah kerugian keuangan negara yang disebabkan oleh tindak pidana korupsi adalah sebesar Rp10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah) akan tetapi perolehan harta benda oleh pelaku adalah sebesar Rp5.000.000,00 (lima juta rupiah), maka pembebanan uang pengganti yang dibebankan kepada pelaku (terdakwa) adalah sebesar Rp5.000.000,00 (lima juta rupiah).

Didasarkan atas seberapa besar atau jumlah harta benda yang diperoleh dari tindak pidana korupsi oleh pelaku tersebut, kemudian oleh Pasal 5 Peraturan Mahkamah Agung No 5 tahun 2014 diperluas, apabila harta benda hasil dari tindak pidana korupsi tersebut telah dialihkan kepada pihak lain dan kepada pihak lain tersebut tidak dilakukan penuntutan baik dalam tindak pidana korupsi maupun tindak pidana lainnya seperti tindak pidana pencucian uang, maka terhadap pelaku tindak pidana korupsi dapat dibebankan pembayaran uang pengganti sejumlah yang dialihkan kepada pihak lain tersebut, artinya jumlah pembebanan uang pengganti kepada pelaku tidak pidana korupsi tidak hanya terbatas kepada jumlah harta benda yang diperoleh akan tetapi juga seberapa besar harta benda hasil tindak pidana korupsi yang telah dialihkan kepada pihak lain.

Selanjutnya pembebanan pembayaran uang pengganti kepada pelaku atas harta benda yang dialihkan kepada pihak lain tersebut hanya dapat dibebankan kepada pelaku tindak pidana korupsi sepanjang pihak lain tersebut tidak melakukan perbuatan melawan hukum pidana (wederrechtelijk) sebagaimana rumusan ketentuan Pasal 55 Kitab Udang Undang Hukum Pidana (KUHP) ayat 1 ke 1 berbunyi Dipidana sebagai pelaku tindak pidana yaitu mereka yang melakukan, yang menyuruh melakukan dan yang turut serta melakukan, ayat 1 ke 2 berbunyi mereka yang dengan memberi atau menjanjikan sesuatu dengan menyalahgunakan kekuasaan atau martabat, dengan kekerasan, ancaman atau penyesatan, atau dengan memberi kesempatan, sarana atau keterangan, sengaja menganjurkan orang lain supaya melakukan perbuatan. dan ketentuan Pasal 56 KUHP yang berbunyi Dipidana sebagai pembantu kejahatan, ayat (1) mereka yang sengaja memberi bantuan pada waktu kejahatan dilakukan dan ayat (2) mereka yang sengaja memberi kesempatan, sarana atau keterangan untuk melakukan kejahatan, dengan pelaku tindak pidana korupsi. Apabila pihak lain memenuhi ketentuan turut serta atau membantu pelaku melakukan tindak pidana korupsi, maka pembebanan uang pengganti dibebankan kepada pihak lain tersebut.

Frasa sepanjang kepada pihak lain tidak dilakukan penuntutan, tidak dapat dimaknai ansih hanya pihak lain tersebut sedang tidak dilakukan penuntutan, walaupun tidak sedang dilakukan penuntutan akan tetapi dalam proses pemeriksaan persidangan terhadap pelaku (terdakwa) ditemukan adanya fakta hukum bahwa pihak lain tersebut melakukan perbuatan melawan hukum pidana (wederrechtelijk) baik turut serta atau membantu pelaku tindak pidana korupsi, maka pembebanan uang pengganti dibebankan kepada kepada pihak lain tersebut sebesar jumlah harta benda yang diperolehnya, dengan demikian pembebanan uang pengganti kepada pelaku (terdakwa) atas harta benda yang telah dialihkan kepada pihak lain dapat dilakukan sepanjang pihak lain tersebut tidak melakukan perbuatan melawan hukum pidana (wederrechtelijk) bersama-sama pelaku (terdakwa) baik turut serta maupun membantu melakukan tindak pidana korupsi.

Berpedomanan kepada uraian tersebut, penjatuhan pidana tambahan berupa pembayaran uang pengganti tidak serta merta dapat dibebankan kepada pelaku tindak pidana korupsi, apabila jumlah kerugian negara tidak dinikmati atau tidak diperoleh oleh pelaku tindak pidana korupsi atau tidak dialihkan pelaku kepada pihak lain, maka secara otomatis pembebanan uang pengganti sebagai upaya pengembalian atas kerugian keuangan negara tidak dapat dibebankan kepada pelaku tindak pidana korupsi, untuk memaksimalkan upaya recovery atas kerugian keuangan negara, maka penegakan hukum yang dilakukan oleh aparatur penegak hukum dalam pemberantasan tindak pidana korupsi tidak berhenti hingga penjatuhan sanksi pidana penjara kepada pelaku utama, penegakan hukum harus dilakukan hingga kepada yang menerima aliran kerugian keuangan negara dengan persyaratan adanya perbuatan melawan hukum pidana (wederrechtelijk) dan terpenuhinya ketentuan Pasal 55 atau Pasal 65 KUHP dengan pelaku utama tindak pidana korupsi.

Penjatuhan putusan pembebanan pembayaran uang pengganti merupakan pidana tambahan sebagai upaya recovery atau pemulihan atas kerugian keuangan negara yang diwujudkan oleh hakim dalam putusannya, recovery atas kerugian keuangan negara ini tidak akan dapat terwujud tanpa dipadankan secara proporsional dengan lama pidana penjara pengganti, misalnya pelaku dibebankan pidana pembayaran uang pengganti sebesar Rp10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah) dengan pidana penjara pengganti selama 1 (satu) bulan, tentunya pelaku (terpidana) akan lebih memilih menjalani pidana penjara selama 1 (satu) bulan dibandingkan dengan melakukan pembayaran uang pengganti sebesar Rp10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah), dalam hal ini recovery atas kerugian keuangan negara tidak terwujud, agar recovery atas kerugian keuangan negara dapat terwujud dalam penegakan hukum pemerantasan tidak pidana korupsi, hakim dalam putusan penjatuhan pidana penjara pengganti harus proporsional (sebanding atau seimbang) dengan jumlah harta benda yang diperoleh dari tidak pidana korupsi (uang pengganti).

Sehingganya pengaturan penjatuhan pidana pengganti secara proporsional dengan jumlah harta benda yang diperoleh dari tindak pidana korupsi, mengadopsi rule model dari Peraturan Mahkamah Agung No 1 tanu 2020 Tentang Pedoman Pemidanaan Pasal 2 dan Pasal 3 Undang Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, penjatuhan pidana penjara pengganti dapat dengan mekanisme, yaitu:

  1. Perolehan harta benda dari tindak pidana korupsi (uang pengganti) sampai dengan Rp300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah) dengan pidana penjara pengganti selama 1 (satu) tahun sampai dengan 4 (empat) tahun.
  2. Perolehan harta benda dari tindak pidana korupsi (uang pengganti) lebih dari Rp300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah) sampai dengan Rp1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah) dengan pidana penjara pengganti selama 4 (empat) tahun sampai dengan 8 (delapan) tahun.
  3. Perolehan harta benda dari tindak pidana korupsi (uang pengganti) lebih dari Rp1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah) sampai dengan Rp25.000.000.000,00 (dua puluh milyar rupiah) dengan pidana penjara pengganti selama 8 (delapan) tahun sampai dengan 12 (dua belas) tahun.
  4. Perolehan harta benda dari tindak pidana korupsi (uang pengganti) lebih dari Rp25.000.000.000,00 (dua puluh milyar rupiah) sampai dengan Rp100.000.000.000,00 (seratus milyar rupiah) dengan pidana penjara pengganti selama 12 (dua belas) tahun sampai dengan 16 (enam belas) tahun.
  5. Perolehan harta benda dari tindak pidana korupsi (uang pengganti) lebih dari Rp100.000.000.000,00 (seratus milyar rupiah) dengan pidana penjara pengganti selama 16 (enam belas) tahun sampai dengan 20 (dua puluh) tahun.

 

KESIMPULAN

            Keuangan negara dalam konsep pemberantasan tindak pidana korupsi adalah seluruh kekayaan negara dalam bentuk apapun baik yang tidak dipisahkan atau yang dipisahkan, tercantum maupun tidak tercantum dalam anggaran negara baik Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN), Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) dan Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa (APBDesa), kekayaan negara tersebut berada dalam penguasan, pengurusan dan pertanggungjawaban pejabat lembaga negara baik tingkat pusat, daerah dan pemerintahan desa, termasuk kekayaan negara yang berada dalam penguasan, pengurusan dan pertanggungjawaban Badan Usaha Milik Negara/Badan Usaha Milik Daerah/Badan Usaha Milik Desa, yayasan, badan hukum dan perusahaan yang menyertakan modal pihak ke tiga berdasarkan perjanjian dengan negara atau dengan daerah atau dengan desa.

            Sedangkan kerugian keuangan negara dalam konsep pemberantasan tindak pidana korupsi, merupakan seluruh pengeluaran atau penggunaan yang menjadi beban keuangan negara dimana pengeluaran atau penggunaan atas uang negara tersebut didasarkan atas perbuatan melawan hukum, termasuk berkurangnya pendapatan atau pemasukan terhadap keuangan negara didasarkan atas perbuatan melawan hukum, perbuatan melawan hukum yang berakibat kepada kerugian keuangan negara tersebut haruslah disebabkan oleh perbuatan yang mengadung sifat melawan hukum pidana (wederrechtelijk).

            Pembebanan pembayaran uang pengganti dalam pemberantasan tidak pidana korupsi sebagaimana diatur dalam Pasal 18 Undang Undang Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi merupakan sarana yang dapat diterapkan untuk mengwujudkan upaya recovery atau pemulihan keuangan negara yang disebabkan oleh tindak pidana korupsi, pembayaran uang pengganti dibebankan kepada pelaku tindak pidana korupsi sejumlah harta benda yang diperoleh dari tindak pidana korupsi dan sejumlah harta benda yang telah dialihkan pelaku kepada pihak lain dimana pihak lain tersebut tidak dilakukan penuntutan dan tidak melakukan perbuatan melawan hukum pidana (wederrechtelijk), baik secara turut serta atau membantu melakukan dan khusus mengenai penjatuhan sanksi pidana penjara pengganti harus dilakukan secara proporsional dengan perolehan harta benda dari tindak pidana korupsi atau jumlah pidana uang pengganti yand dibebankan.

[1] Syamsa Adisasmita DEA, Makalah “Definisi Korupsi Menurut Perspektif Hukum dan E-Annaouncement Untuk Tata Kelaola Pemerintahan Yang Lebih Baik, Terbuka, Trasparan dan Akuntable”, tanggal 23 Agustus 2016

[2] https://dataindonesia.id/ragam/detail/kerugian-negara-akibat-korupsi-capai-rp6293-triliun-pada-2021

[3] Muhammad Djafar Saidi, Eka Merdekawati Djafar, 2008. Hukum Keuangan Negara Teori dan Praktik, Depok, Rajawali Pers, halaman 10-11.

[4] Adami Chazawi, 2016, Hukum Pidana Korupsi di Indonesia, PT RajaGrafindo Persada, Jakarta, Halaman 53-55

[5] Yudi Kristiana, 2016, Pemberantsan Tindak Pidana Korupsi Persektif Hukum Progresif, Penerbit Thafa Media, halaman 63-65.

 

Oleh : Alfis Setyawan, S.H., M.H.
 (Hakim Ad Hoc Tipikor Pada Pengadilan Negeri Kelas 1 A Semarang)